03 Desember 2025

"Satu Bumi Dirusak Bersama" dan Bencana Ekologis di Sumatera


Entah kok bisa kebetulan; buku puisi ini, “Satu Bumi Dirusak Bersama” (SBDB) terbit bersamaan dengan terjadinya longsor dan banjir besar di tiga provinsi di Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat). Buku puisi yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra Malang ini memang mengusung tema lingkungan, kerusakan ekologis, dan visi manusia yang cenderung rusak dan merusak dari awal.

Tentu saja, menerbitkan buku puisi tunggal tidak bisa dibuat untuk “numpang momentum”. Buku puisi tidak bisa dibuat seperti bunga rampai esai tentang bencana ekologis yang dikumpulkan dari banyak penulis. Ia telah melalui proses panjang, bertahun-tahun. Setiap menulis puisi bertema lingkungan, saya piliha dan saya kumpulkan sesuai temanya. Setelah terkumpul sekitar 30 judul, saya terbitkan menjadi satu buku.

Sebelum ini, saya telah menulis esai demi esai dengan tema yang mirip, yaitu Merusak Bumi dari Meja Makan (MBDMM). Yang membedakan MBDMM dengan SBDB adalah fokusnya. Jika MBDMM membahas daya rusak manusia terhadap Bumi secara tidak langsung, melalui produksi limbah makanan, penggunaan plastik-sekali-pakai secara masif, yang meskipun kecil namun diulang terus-menerus setiap hari, buku SBDB lebih meninjau kerusakan alam secara umum, seperti hancuranya batuan karst dan kekurangan air bersih, hilangnya tanggungjawab manusia terhadap sampah yang diproduksinya serta pengrusakan di laut yang sering terlewat dari pengamatan.

Antara akhir November dan awal Desember ini, saya mesti gembira karena buku puisi saya yang ke-11 telah terbit. Namun, kesedihan atas bencana di Sumatera mengharuskan saya tahu diri, tidak boleh hanyut oleh euforia. Kesedihan lebih besar daripada kegembiraan karena kesedihan cenderung mengingatkan sedangkan kegembiraan seringkali membuat terlena. Saya berbela sungkawa dan tidak dapat melakukan tindakan langsung di lapangan. Hanya buku ini yang saya persembahkan di momen kali ini, buku tipis yang saya harap dapat mengubah sedikit banyak persepsi orang di masa depan, perubahan cara pandang manusia terhadap lingkungan.


Bagi saya, puisi tidak bisa jadi kadaver. Puisi tetap lahir dari zaman yang melingkupinya dan sebab itulah ia harus kembali kepada masyarakat yang melahirkannya. Puisi tidak boleh semata diobyek keindahan dan kepaduan strukturnya saja. Ia harus bisa menjadi suara yang didengar dan laksanakan amanahnya.

28 Juni 2025

Antara Diskusi Buku dan Story

Senang sekali saya bisa hadir di acara diskusi buku di Kafe Pustaka, malam Ahad yang lalu 21 Juni 2025. Acara ini terselenggara atas kerjasama MORI (penerbit buku saya [Surat Cinta untuk Malam] juga buku Royyan Julian [Ranjang Poskolonial]) dengan Mas David selaku pengelola kafe. Acaranya adalah hajatan buku untuk kami berdua yang sama-sama datang dari Madura. Kedua buku itu, buku kami, adalah buku puisi, buku yang katanya paling sulit laku di Indonesia sejauh ini.


Kafe ini sering menyelenggarakan kegiatan buku. Berbeda dengan kegiatan buku di Kafe Basabasi atau Kafe Mainmain yang memang besar secara pendanaan dan ruangan, Kafe Pustaka lebih mirip Warung Sastra yang kecil secara ruang, namun cukup ‘berani’ untuk selalu berkegiatan. Kafe-kafe seperti di atas diuntungkan secara posisi karena dekat dengan kampus (Basabasi dan Mainmain dekat dengan UIN Sunan Kalijaga; Warung Sastra dengan UGM, Kafe Pustaka dengan UM). Kafe Pustaka dulunya ada di dalam kampus Universitas Negeri Malang (saya pernah hadir untuk diskusi buku di situ) dan kini pindah lokasi, ke Jalan Pekalongan, entah karena alasan apa.

Begitu pula dengan MORI, ia penerbit kecil. Terbitannnya tidak banyak. Pendanaannya juga terbatas. Nah, dengan berkolaborasi, keduanya menjadi satu kesatuan yang besar. Sejauh ini, saya paling sering menyelenggarakan diskusi buku di Kafe Basabasi (juga Mainmain) mengingat buku-buku saya memang banyak yang terbit di Penerbit Basabasi. Maka, mendiskusikan buku di Kafe Pustaka yang tak punya penerbitan dan juga MORI yang tak punya kafe akan meninggalkan kesan yang berbeda dengan penyelenggaraan diskusi di Basabasi (Jogjakarta) yang punya dua-duanya.   
 
Hanya hadir dalam acara diskusi buku kami tidak banyak secara jumlah, tapi sudah cukup untuk membuat semua bangku kafe terisi penuh. Salah satu hal yang membuat acara ini membahagiakan saya adalah hadirnya Prof Djoko Saryono dan Prof Aris di lokasi. Saya juga melihat kehadiran Aquarina Kharisma dan beberapa kawannya di komunitas Malang Women Writers' Society, termasuk Istie dan beberapa orang lain yang belum saya kenal.  Di luar itu, yang tak kalah menyenangkannya adalah karena saya bisa ambil bonus silaturahmi dengan dulur-dulur dan kerabat. Tentu saja, hal itu dilakukan sebelum acara. Sampai di Malang pagi hari Sabtu, waktu saya gunakan untuk bertandang ke rumah Ririd di Pakisaji, juga ke rumah Rozi di Joyogrand dan bertemu dengan banyak orang di sana. Kebahagiaan yang lain adalah karena moderator, Yohan Fikri, yang menyempatkan diri untuk menulis esai panjang demi puisi saya, tepatnya demi satu puisi saya yang ada di dalam buku itu. Sungguh tidak terduga karena dia sempat menulis artikel untuk membahas puisi berjudul “Himne untuk Malam” dengan model interpretasi yang pembahasannya merambah ke mana-mana. Saya suka.

Di Kafe Pustaka, saya bertemu dengan orang-orang yang sudah saya kenal maupun dengan yang baru saya kenal meskipun sudah tahu lebih dulu lewat media sosial, seperti dengan Novi Dwi Jawahir dan Arief Rahman Hakim. Bertemu dengan kerabat, kawan, orang baru, dan bercakap-cakap singkat dengan mereka tentang apa pun yang ada di dalam hidup ini terasa sangat menyenangkan, bahkan seakan lebih penting dari acara itu sendiri. Inilah perasaan yang saya alami dan jujur harus saya akui. Kesan dan perasaan seperti ini mungkin juga sering Anda alami, perasaan yang di satu sisi mirip dengan orang yang membuat story perjalanann dan menganggapnya lebih menarik daripada perjalanan itu sendiri.

 

 

20 Mei 2025

Surat Cinta untuk Malam

 

Akhirnya, buku puisi yang keempat dapat cetak ulang di tahun 2025. Buku tersebut adalah “Surat Cinta unuk Malam”. Cetak ulang keduanya diterbitkan oleh Edisi Mori, Malang. Adapun cetakan pertamanya berjudul “Permaisuri Malamku”, diterbitkan oleh Diva Press, tahun 2011 yang lalu.

Meskipun secara urutan terbit buku ini adalah buku puisi saya yang keempat, namun dari sisi konsep tematik ia adalah yang pertama. Di dalam buku puisi ini, saya membidik tema langit malam dan semua hal yang terkait dengannya. Sepintas, ia memang bisa dibilang seperti puisi astronomis, tapi nyatanya tidak sepenuhnya demikian. Penggunaan kata-kata seperti Pleiades, Hale-Bopp, Sabitah, maupun Bimasakti hanyalah ornamen-ornamen dalam puisi yang sebetulnya lebih tertuju dan terarah untuk mengajak pada permenungan, berpikir lebih mendasar, secara eksistensial, tentang hidup, tentang kemenghambaan, tentang status manusia di jagat raya yang mahabesar.

Sebetulnya, Surat Cinta untuk Malam adalah judul puisi yang saya tulis dan diterbitkan di dalam buku sebelumnya, Rumah Bersama, namun karena puisi tersebut telah memantik ide untuk menulis puisi-puisi bertema malam dan langit malam, maka puisi tersebut dimasukkan kembali ke dalam buku Permaisuri Malamku yang terbit di tahun 2011. Pada masa-masa itu, saya sangat terpukau dengan keindahan langit malam.

Terkait puisi-puisi di buku ini, saya tidak bisa melupakan nama Hendro Setyanto. Berkat kawan saya, Januar Herwanto, saya diperkenalkan dengannya. Pada pertemuan pertama, saya langsung terlibat diskusi agak lama dengan beliau terkait astronomi (belakangan bahkan sempat membeli teleskop juga dari beliau untuk sekolah). Saat ini, belaiu mengelola Imah Noong dan Mushollatorium. Dua ruang untuk aktivitas astronomi ini berada di Lembang, Bandung Utara. Dari pembicaraan dengannya itulah akhirnya saya mulai menulis puisi-puisi bertema langit malam.

Dua di antara puisi bertema malam (Surat Cinta untuk Malam dan Permaisuri Malamku) dibacakan di salah satu sesi Ubud Writers and Readers Festival, di Ubud, Bali, tahun 2008. Kebetulan, yang membacakannya adalah Martin Jankowski, sementara saya membacakan puisi dia. Berkat pertemuan tersebut akhirnya kami dipertemukan kembali bertemu di Jerman. Martin mengundang saya untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni yang dia kerjakan: Jakarta-Berlin Arts Festival. Puisi-puisi pun dikumpulkan dan diterbitkan di Diva Press lalu saya bawa pergi ke perhelatan tersebut.

Bedanya dengan buku Permaisuri Malamku, buku Surat Cinta untuk Malam didisain lebih ramping dan lebih kecil oleh Erha Authanul Muther, pendiri Mori. Di dalamnya juga dimuat beberapa puisi tambahan, yaitu : Himne untuk Malam, Cara Mengetuk Pintu, Menunggu Peringatan Isra Mikraj, Siapa yang Menyapu Langit?, Hanya Bertanya, Betapa Indahnya Maghrib, Batu-Batu Langit, Nahawand, Jiharkah, Ulul Albab, Refleksi Agustus Saat Padam Lampu, Kelompak Langit Merekah, dan Iman dan Cinta. Buku dengan jumlah halaman 88 ini terbit di bulan Maret 2025.